PROLOG
Aku terdiam. Mataku membelalak. Kurasakan perutku bergejolak seperti ingin muntah. Jantungku berdebar sangat kencang, entah karena bahagia, takut atau sedih. Tubuhku terasa lemas. Bibirku seakan kaku, membuatku tak dapat berkata apa-apa.
Aku tak tahu apa yang sedang kurasakan. Lebih parahnya, aku tak tahu apa yang seharusnya kurasakan. Ya Tuhan... Apa yang harus kulakukan sekarang?
Ia memanggil namaku lagi.
“Sil?”
Aku masih terdiam. Masih terperangkap dalam pikiranku sendiri.
Gimana nih? Gimana nih? Gimana nih?
“Silka?” Suaranya kini terdengar lebih panik. Aku menarik nafasku dan membuangnya pelan. Sambil mengumpulkan sisa-sisa kesadaranku, aku palingkan pandanganku yang sejak tadi terpaku padanya.
“Iya, Gi?”
“Gimana?”
Aku tersenyum, lalu mengangguk. Kemudian yang aku ingat setelah itu hanya sahabatku, sahabat yang aku cintai diam-diam itu, memelukku erat.
***
1 PERTENGAHAN
“Silka! Sini.” Kairra memanggilku. Ia sedang duduk di antara segerombolan anak yang kelihatan sedang seru berbincang sambil tertawa lepas.
Sahabatku yang satu ini memang terkenal supel dan disenangi banyak orang. Parasnya yang cantik dan kepintarannya yang selalu diacungi jempol oleh para dosen membuat semua cowok klepek-klepek mengaguminya. Tak sedikit yang suka menanyakan Kairra padaku. “Kairra udah punya pacar belom, Sil?” “Bagi nomornya Kairra dong, Sil.” “Sil, kira-kira kalo gue mau deketin Kairra, gimana ya?” dan masih banyak lagi. Belajar dari pengalaman, aku juga sudah menguasai manuver-manuver untuk menolak memberikan nomor ponsel Kairra, atau sekedar memberikan informasi tentangnya. Mulai dari sok sibuk sampai janji palsu.
Kadang aku minder menjadi sahabat Kairra. Di antara banyak sekali orang yang ingin menjadi temannya, entah mengapa ia memilihku sebagai sahabatnya. Jika dibandingkan dengannya, aku bukan siapa-siapa. Aku ini canggung, aneh dan kurang bisa bergaul. Kairra seratus delapan puluh derajat kebalikanku.
“Sil! Sini lah!” Kairra memanggilku lagi, membuat langkahku semakin cepat. Aku sebenarnya ogah berkumpul dengan teman-teman Kairra. Takut canggung. Namun karena sudah kepalang basah dipanggil Kairra dan tidak ada alasan untuk pergi dari situ, aku hampiri juga komplotan itu. Sekilas aku sunggingkan senyum pada mereka yang duduk di sekeliling Kairra untuk sekadar basa-basi.
“Kenapa, Kai? Kamu nggak kelas?” Kairra nyengir kuda, lalu terkekeh. “Aku telat tadi, nggak dikasih masuk sama dosennya. Duduk sini, kamu nggak ada kelas kan.” Ia menggeser badannya, memberikan aku tempat untuk duduk di sebelahnya.
“Rik, nih, namanya Silka,” Kairra menunjukku sambil berbicara pada lelaki di hadapannya. Kairra terkekeh lagi, kemudian menyeruput es teh-nya. “Cantik ‘kan? Gue bilang juga apa.” Kairra bertanya pada temannya seakan aku tak sedang mendengarkan pembicaraannya. Teman Kairra itu hanya tersenyum.
Lucu. Senyumnya lucu.
“Sil, kenalin, Erik,” teman Kairra mengulurkan tangannya, “Erik.” Aku sambut uluran tangan Erik, “Silka.”
“NAH! COCOK!” Kairra berteriak sekencang-kencangnya hingga semua orang di ruangan itu tersentak dan reflek menoleh. Aku cuma bisa mati kutu diteriaki seperti itu. “Apa sih, Kai,” elakku sambil tertawa gugup. Kulihat Erik mencuri pandang kepadaku. Tak kupungkiri aku salah tingkah dibuatnya. Erik tampan. Ditambah gayanya yang cuek membuatnya semakin terlihat cool. Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diriku dan mengontrol suhu pipiku agar tidak memanas. Bukannya aku suka pada Erik, hanya memang aku tak biasa dipandang seintens itu oleh seorang cowok.
Apalagi yang setampan Erik.
“Guys, gue cabut duluan ya, absen udah mentok nih,” ujar Erik.
Seruan kecewa berdatangan dari banyak sumber.
“Yah, dia kabur ada orangnya,” Kairra menimpali.
“Yeee. Nggak gitu. Beneran ini jatah absen gue udah abis. Telat sekali lagi abis gue sama Mas Yudi.”
Kairra tertawa. “Iya, iya. Bercanda, nyet, ya udah sana lo.”
“Yo! Duluan ya, guys!” Erik melambaikan tangannya, pamit.
***
Setelah Erik pergi, sekitar dua puluh menit aku sibuk sendiri dengan ponselku, membiarkan Kairra mengobrol entah tentang apa dengan teman-temannya. Kulihat layar ponsel yang sedang memampangkan timeline twitter-ku.
New tweets.
Pagi Wirakusuma @pagiwirakusuma
“Thank God she said yes. J”
Aku tersenyum.
“Kenapa lo? Senyum-senyum sendiri, nih,” Kairra menyikutku pelan.
“Hah? Enggak, nggak ada apa-apa.” Aku paksa bibirku untuk tak melengkung ke atas.
Kairra tertawa. “Cerita dong!”
“Nggak ada apa apa, Kai, serius deh.”
“Oooo. Oke.”
Oke. Tapi, aku tahu Kairra tidak percaya. Buktinya ia tetap menyikutku pelan sambil mengatakan ‘cie’ setiap satu menit. Aku harus bagaimana?
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Beberapa teman Kairra mulai meninggalkan tempat itu dan pergi menuju kelasnya masing-masing. Hanya tersisa enam orang di meja itu, termasuk Kairra dan aku.
Kairra menarik nafas dalam, kemudian membuangnya.
“Kairra-nya mau pergi curhat dulu ya, semua! Bye!” Kata Kairra, sambil menyambar lenganku. “Mobil, mobil,” bisiknya.
Mobilku adalah ‘markas’ kami. Mobilku menjadi tempat dimana aku dan Kairra saling bertukar cerita. Mobilku sudah mendengarkan tangisan Kairra saat ia putus dari Ben, tangisanku saat Satya mengaku selingkuh. Mendengar aku marah-marah pada Bu Anik saat ujianku disobek di depan kelas. Mobilku menyimpan banyak ceritaku dan Kairra bersama. Mulai dari sobekan kecil pada jok kursi penumpang korban cabikan Kairra saat ia kesal, sampai bagasi yang sudah menjadi lemari kedua kami.
Mengajak ke mobil berarti ingin curhat. Itulah kode kami.
“Kenapa, kenapa?”
“Sil, buka twitter sekarang.”
Deg.
Aku buka aplikasi Twitter di ponselku, lalu keserahkan ponselku padanya.
Kairra kemudian mengutak-atik ponselku dengan cepat, lalu memperlihatkanya kembali padaku. “Baca,” katanya.
“Apaan sih?” Tanyaku penasaran.
Sok penasaran tepatnya.
Sebenarnya, aku sudah bisa menebak apa yang Kairra ingin tunjukkan. Pasti tweet Pagi, batinku. Aku mencoba mengontrol ekspresi wajah dan nada bicaraku agar tak terlihat dan terdengar panik.
“Liat sendiri nih,” Kairra menyerahkan ponselku padaku, lalu terdiam. Raut mukanya terlihat sedih. “Pagi kayaknya udah punya cewek.”
Benar saja. Kairra melihat tweet Pagi yang tadi aku lihat.
Aku tak tahu harus menjawab apa.
“Sil... Aku kenapa sedih ya?”
Bibirku makin terkatup rapat.
Kairra sedikit merengek, “Sil, gimanaaaa?”
“Gimana ya, Kai. Aku juga jadi bingung.” Dan memang benar-benar aku bingung.
“Emang bukan jodoh susah ya,” Kairra tersenyum paksa, seakan menguatkan dirinya sendiri. Aku hanya bisa terdiam. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku jujur bahwa sebenarnya orang yang sedang menyakiti hatinya dan menghancurkan harapannya sekarang adalah aku?
“Nggak mungkin aku jujur sama Pagi. Kita temenan udah lama banget, Sil. Aku nggak mau ngerusak hubungan itu.”
Aku mengangguk prihatin. Prihatin pada Kairra. Dan prihatin pada diriku sendiri...
Temanku yang begitu ‘gaul’ ini sebenarnya polos dan naïf, terutama dalam soal percintaan. Kairra mulai terisak pelan. Bahunya naik-turun dan tangannya menutupi wajahnya.
“Aku harus gimana, Sil?” Matanya memerah.
Aku tak menjawabnya. Kucondongkan tubuhku ke arah Kairra dan kupeluk dirinya. Air mata mulai bercucuran juga dari mataku. Aku tak tahu apa yang kutangisi. Menangis untuk Kairra atau diriku sendiri? Tiba-tiba aku merasa sangat tak pantas bahkan untuk berbicara padanya.
Kairra tertawa kecil di sela-sela tangisannya. “Kenapa jadi lo yang nangis?”
“Nggak apa-apa,” kuusap tangisanku.
“Aku nggak apa-apa, Silka sayang. Udah kamu jangan ikutan nangis.”
Aku mengangguk sambil semakin erat memeluk sahabatku.
***
Ting.
Bunyi tanda ada chat yang masuk terdengar dari laptopku. Segera aku buka aplikasi messenger-ku, dan kulihat ada Pagi menyapaku.
Pagi:
Selamat PAGI.
Me:
Hahaha, lucu kamu.
Pagi:
Hehe, udah mandi?
Me:
Udah dong. Kamu?
Pagi:
Udah juga dong. Sarapan, gih!
Me:
Iyaaa. Kamu juga!
Pagi:
Yuk bareng.
Me:
Yuk. Yaudah aku offline dulu ya. Nanti SMS aja.
Pagi:
Iya, sayang. Oke!
Aku matikan laptopku sambil senyum-senyum sendiri, kemudian menuju meja makan. Hari ini hari Sabtu, namun sudah tak terdengar tanda-tanda keberadaan Mama maupun Papa di rumah.
Aku duduk di meja makan. Kulahap nasi goreng buatan Mama yang sejak tadi telah tersedia di bawah tudung saji.
Mungkin ini aneh, tapi duduk di ruang makan sendirian kadang menenangkanku. Aku jarang sekali bertemu dengan kedua orangtuaku. Mereka selalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Dulu, aku selalu berdua dengan kakakku. Namun, setelah ia menikah dan berkeluarga, semuanya berubah. Rumah jadi lebih sepi, tak ada yang suka mengisengiku lagi. Sejak itu, aku hampir selalu sendirian saat makan.
Di pagi hari, Mama biasanya hanya mencium keingku untuk membangunkanku, lalu menyiapkan sarapan. Setelah itu, ia segera bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Malam hari, kalau tak ada pekerjaan, barulah Mama menemaniku makan malam. Papa lebih parah. Ia biasanya terbangun saat aku telah berangkat sekolah dan pulang tengah malam. Kami hanya bertemu di gereja setiap hari Minggu. Maka dari itu, Kairra yang juga bernasib sama denganku, kadang membiarkanku menginap di rumahnya, atau ia menginap di rumahku. Persahabatan kami sudah seperti saudara.
Seperti saudara? Seorang saudara tak menusuk satu sama lain dari belakang.
Aku merasa mual. Dengan susah payah kuhabiskan sisa-sisa nasi goreng buatan Mama. Nanti nasinya nangis kalau disisa-sisain. Aku selalu mendengar suara Opa menegurku saat keinginan untuk tak menghabiskan sisa-sisa makanan datang. Setelah sarapanku habis, pikiranku langsung kembali ke Kairra. Kemana nuraniku? Bahagia di atas penderitaan sahabatku sendiri? Pantaskah aku menyebutnya sahabat?
2 AWAL
“Terus sekarang kita kemana?”
“Ke Puncak, yuk!”
“Hah? Ke Puncak?” Pagi mengernyitkan dahinya.
“Iya, Puncak. Sekarang!”
“Lo gila ya, Kai?”
“Udaaaah. Ayo, jalan!” Kairra cengengesan. “Ayo lah! Anggep aja hadiah ulang tahun gue dari kalian berdua.”
“Sil? Gimana keputusan?” Pagi menengok kepadaku yang duduk di jok belakang.
“Terserah Kairra aja”
“YES! OKE! Puncak, here we go!” Kairra kegirangan.
Saat itu jam sembilan malam, tak heran Pagi enggan mengabulkan permintaan Kairra. Namun, karena sahabatnya yang berulang tahun tepat tiga jam lagi itu sudah bertitah, ia akhirnya mengalah dan lekas menancap gas.
***
Tuhan seperti memberkati perjalanan kami. Jarang-jarang jarak Jakarta-Puncak hanya memakan waktu dua setengah jam. Malam itu, walaupun rintik-rintik hujan turun, jalan tol Jagorawi begitu lengang. Kalau hujan di hari ulang tahun, itu hujan berkat. Artinya, Tuhan sedang memberkati orang yang berulang tahun itu. Aku tersenyum. Kairra tertidur pulas di kursi penumpang setelah lelah tertawa dan bernyanyi keras-keras. Tuhan berkati, ya, Kai, ucapku dalam hati.
Ditinggal Kairra tertidur seperti ini, berdua di mobil dengan Pagi rasanya aneh. Walaupun sudah biasa pergi bertiga kemana-mana, aku dan Pagi tak pernah hanya berdua. Selalu ada Kairra yang meramaikan. Pagi, yang sepertinya juga merasakan hal yang sama, kemudian menyalakan radio. Lantunan pelan lagu If It Kills Me dari Jason Mraz di radio yang memecah kesunyian mobil saat itu membuatku terhenyak.
Ini laguku untuk Pagi.
Pagi membesarkan volume dan mulai ikut bernyanyi.
Hello, tell me you know
Yeah, you figured me out
Something gave it away
Aku harap ia tahu. Aku harap ia tahu aku menyukainya. Aku harap rintik-rintik hujan ini, atau klakson mobil sebelah, atau lagu di radio ini dapat memberitahu Pagi bahwa aku menyukainya. Bahwa aku sangat menyukainya.
It would be such a beautiful moment
To see the look on your face
To know that I know that you know now
Entah kapan aku dapat mengungkapkan perasaan ini. Mungkin tidak akan pernah. Mungkin aku termasuk orang yang terjebak di ‘zona teman’, tapi asalkan bisa dekat dengan Pagi, bisa mendengar curahan hatinya, bisa menghabiskan waktu bersama tanpa takut perasaanku ketahuan, ‘zona teman’-pun sudah cukup buatku.
Tanpa kusadari, aku sejak tadi memandangi siluet Pagi dari jok belakang. Pagi sebenarnya sangat tampan. Namun, ia bukan tipe pria yang bisa membuat wanita jatuh hati pada ‘pandangan pertama’. Apalagi ditambah sifatnya cenderung diam dan tidak suka menonjolkan diri, membuat tak banyak yang sadar akan ketampanannya. Padahal, aku yakin, jika ia lebih berani untuk unjuk diri, seperti mempertunjukkan kebolehannya bermain gitar, yang menurutku sangat keren, pasti banyak bermunculan sainganku.
Sainganku... Aku tertawa dalam hati. Mikir apa sih kamu, Sil?
And, baby, that's a case of my wishful thinking
You know nothing
Seandainya Pagi tahu...
Pagi ikut menyanyikan bagian refrain. Seakan menyanyikannya untukku.
Well, all I really wanna do is love you
A kind much closer than friends use
But I still can't say it after all we've been through
Yang kuinginkan hanya mencintainya. Mencintainya lebih dari seorang sahabat. Namun, aku tak dapat mengatakannya. Aku tak dapat mengatakan kepada siapapun kalau aku mencintai pria yang kusebut sebagai sahabatku ini, Pagi Wirakusuma.
“Udah dimana kita?” Kairra menguap.
“Nih, sebentar lagi Puncak Pas,” jawab Pagi.
“Wets. Lagu gue!” Kairra menambah lagi volume radio yang sudah sangat keras. If It Kills Me masih mengalun dari radio. Bagian bridge mulai terdengar, Pagi dan Kairra menyanyikannya keras-keras.
If I should be so bold
I'd ask you to hold my heart in your hand
I'd tell you from the start how I've longed to be your man
But I never said a word
I guess I'm gonna miss my chance again
Laguku, Kai, pikirku.
Aku rasa aku akan selalu melewatkan kesempatanku untuk mengungkapkan perasaanku untuk Pagi. Aku rasa sampai kapanpun juga aku tidak akan pernah berani mengungkapkannya. Tepuk tangan untuk Jason Mraz yang seakan bisa membaca pikiranku.
And all I really want from you is to feel me
Yeah, the feeling inside keeps building
I'll find a way to you if it kills me
If it kills me
It might kill me
***
“Yuk, turun sini.” Pagi melepaskan sabuk pengamannya.
“YES! Jagung bakar!” Kairra cepat-cepat membuka pintu, lalu menghampiri tukang jagung bakar di pinggir jalan. Aku dan Pagi mengikutinya dari belakang.
“Tuh, nggak beli juga, Sil?”
“Kamu mau nggak, Gi? Mau nitip?”
“Hmmm. Boleh deh. Pedes ya, Sil. Gue duduk sini, ya.”
“Sip.”
“Thanks, sayang!” Canda Pagi sambil tersenyum padaku.
Deg.
Aku terdiam. Panik. Jantungku berdegup tiga kali lebih cepat dari biasanya. Kubalas senyum Pagi sambil buru-buru menghampiri tempat Kairra sedang membeli jagung bakar.
APA-APAAN? SAYANG?
Aku tak mengerti ada apa denganku. Pagi memang kadang suka bercanda. Tapi, tak pernah sejauh itu. Tapi, aku juga tak seharusnya terlalu memikirkannya. Tapi, aku menyukainya, jadi tentu saja aku memikirkannya. Ya Tuhan...
“Sil,” Kairra mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku, “Kok bengong sih? Itu ditanya mau pesen apa?”
“Eh? Oh iya, jagung bakarnya dua, Pak. Pedes ya dua-duanya.”
“Kenapa lo?”
“Hah? Nggak apa-apa, Kai. Tuh, Pagi duduk sebelah sana.”
“Yaudah, gue ke Pagi dulu, ya. Jangan bengong!”
Aku terkekeh. “Sip.”
***
Kami menghabiskan waktu memakan jagung bakar sambil tertawa-tawa mendengar celotehan Kairra. Sampai akhirnya, waktu menunjukkan pukul dua belas tepat...
“Happy birthday to you, happy birthday to you... Happy birthday dear Kairra, happy birthday to you... Tiup lilinnya!” Suara sumbang yang asal-asalan milikku dan Pagi bergema di Puncak Pas. Ditemani suara jangkrik, Kairra menutup mata sejenak kemudian meniup kedua puluh lilin di hadapannya yang telah kami tancapkan pada dua puluh pisang bakar buatan si Bapak. Kami bertiga bertepuk tangan. Heboh sendiri.
“Thank you, sayang-sayangku.” Kairra merangkul aku dan Pagi berbarengan.
“Sama-sama, Kai,” ucapku.
“Wish apa nih ulang tahun yang kedua puluh, Mblo? Pastinya dong ya. PA-CAR BA-RU! Oke! Sip! Ditunggu pajak jadiannya.” Seru Pagi keras-keras.
“Heh!!! Diem deh lo, Mblo. Sesama jomblo harus saling mengasihi dan menjunjung tinggi perikejombloan. Jangan bawa-bawa status deh,” seru Kairra tak kalah keras, kemudian mengambil sedikit susu kental coklat dari ‘pisang ulang tahunnya’ dan menorehkannya di wajah Pagi.
“Wah!” Pagi berdiri, “Oke. Deal. Bukan gue yang memulai perang.”
Kairra kabur dan mulai berlari ke arah tempat parkir. Pagi mengejarnya sambil membawa sepotong pisang bakar berlumuran susu kental coklat di piring kecil.
Aku tertawa geli melihat ulah mereka, sambil sesekali menyuapkan potongan pisang bakar ke dalam mulutku. Pagi terlihat begitu girang menjahili Kairra. Ah... Apa Pagi menyukai Kairra? Kata orang, tidak mungkin seorang pria dan seorang wanita bisa bersahabat. Pilihannya antara salah seorang dari mereka menyimpan perasaan atau keduanya sama-sama menyimpan perasaan, namun saling takut menyatakan. Katanya... Well, aku yang menyimpan rasa pada Pagi menjadi salah satu bukti nyatanya.
“SILKAAA! Selamatkan gue!” Kairra berlari kecil sambil tertawa-tawa. Mukanya yang sudah menjadi korban Pagi dipenuhi peperan coklat. Dari sisi lain, Pagi tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya.
Aku bergerak menuju kursi yang terletak di pinggir warung pisang bakar kami.
“Udah, sini kalian. Capek ‘kan? Duduk,” ajakku, sambil menepuk-nepuk bagian kursi yang kosong.
Mereka menghampiriku, lalu duduk di samping kanan dan kiriku. Pagi di sebelah kanan dan Kairra di sebelah kiri. Karena berada di tempat yang tinggi, bintang-bintang terlihat begitu banyak, terang, dan indah. Kami bertiga terdiam cukup lama mengagumi gemerlap lautan bintang itu.
“Bagus, ya,” Pagi membuka pembicaraan.
“Bagus banget. Best present ever,” sahut Kairra sambil tetap memandang ke atas. Aku hanya mengangguk, kemudian merangkul Kairra, “SELAMAT ULANG TAHUN YA, KAIRRA ALEXANDRA!” Aku berteriak sekencang-kencangnya. Pagi mengangkat alis, kaget melihat aku yang biasanya diam bersorak seperti itu. Pagi kemudian tertawa geli, tak tahu harus berkata apa, diikuti Kairra.
“TERIMA KASIH, SILKA ANINDYA. ME LOVE YOU!” Kairra berteriak juga. Pagi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat itu, rasanya kami semua bahagia, tanpa beban, tidak memikirkan hal-hal yang sedang kami tinggalkan di Jakarta. Aku acungkan jempol pada keputusan Kairra untuk pergi ke Puncak. Bersama dengan kedua sahabatku, yang salah satunya diam-diam aku sukai, aku merasa ringan. Aku merasa tanpa beban. Aku ingin berterima kasih pada Tuhan atas berkatnya padaku memberikan dua sahabat yang begitu menyayangiku dan menerimaku apa adanya dan keindahan alam yang tak tertandingi ini.
“Gi, Sil, makasih ya,” Kairra memandangi kami berdua. “Aku sayang kalian banget. Makasih buat hadiah ulang tahun tersepontan dan terseru ini.” Katanya sambil tersenyum lebar.
“Sama-sama, Kairra,” jawab Pagi. “Semoga selalu diberkati Tuhan, ya.” Pagi mengacak-acak rambut Kairra.
Mesra sekali?
Aku memeluk Kairra, lalu Pagi memeluk kami berdua. Pagi memelukku. Dalam gelap malam, kami berpelukan seperti itu selama beberapa saat.
***
Saat itu pukul tiga subuh. Setelah menyerah berkeliling mencari penginapan yang kosong, kami pun memutuskan untuk beristirahat dan terlelap sejenak di dalam mobil dengan jendela terbuka. Kulihat kedua sahabatku tertidur pulas di jok depan. Namun, tidak denganku. Sekuat apapun aku mencoba untuk tidur, mataku tetap terbuka lebar. Alhasil aku memutuskan untuk keluar dari mobil untuk menghirup udara malam yang segar.
Aku menarik nafas dalam-dalam, membiarkan udara Puncak memenuhi paru-paruku, sambil duduk di atas kap mesin mobil Pagi.
“Non?”
Kudengar suara pintu mobil dibuka. Kairra keluar dari mobil, lalu mengenakan sweater-nya, “Kok di luar?”
“Iya, nih. Nggak bisa tidur aku.”
Kairra duduk di sebelahku. “Udah bilang Om dan Tante belom hari ini nggak pulang?”
“Udah kok, aku bilang nginep rumah Kairra.”
“Oh, yaudah, bagus.”
Kairra memandang kosong ke depan. Ia terlihat seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Sil...” Ia melirik Pagi yang sedang tidur di dalam mobil, lalu kembali memandang lurus ke depan. “Jangan bilang siapa-siapa ya.”
“Iya, Kai.”
“Aku kayaknya suka sama Pagi.”
Deg.
***
3 AKHIR
Tring! Tring!
+628001912XX
Silka, hari Sabtu pergi-pergi ga?
Kulihat nomor yang tertera di ponselku.
Erik.
Sudah seribu satu alasan aku gunakan untuk menolak ajakan Erik. Dari mulai sekedar makan siang sampai pergi ke Dufan bersama teman-temannya. Pernah sekali aku mengiyakan ajakan Erik untuk makan siang bersama di kampus karena tidak enak menolak terus. Aku mengabari Pagi dan memastikan kalau di antara kami tidak ada apa-apa. Tapi, Pagi tidak terima. Menurutnya, aku memberi Erik kesempatan.
“Cowok kalo dikasih kesempatan sedikit aja pasti ga berenti-berenti ngejarnya, Sil. Makin penasaran dia. Perlu aku yang samperin?” Kata Pagi waktu itu, kesal. Aku hanya bisa menunduk dan meminta maaf. Sama sekali bukan maksudku seperti itu, Gi...
Sejak itu aku selalu mencari alasan ketika Erik mengajakku bertemu. Karena hubunganku dan Pagi yang backstreet, aku tidak dapat mengatakan pada Erik kalau aku sudah ada yang punya. Tidak juga meminta bantuan Kairra, karena ia pasti akan segera curiga dan menggelar ‘sesi mobil’ untukku. Hubunganku dengan Pagi bisa terbongkar dan merusak persahabatan kami dengan Kairra.
Kalau aku menyuruh Pagi turun tangan, itu sama saja bunuh diri. Semua orang akan tahu aku menjalin hubungan dengan Pagi, semua orang akan tahu aku mengkhianati sahabatku sendiri...
Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Aku belum siap untuk memberitahu Kairra yang sebenarnya. Aku mungkin tidak akan pernah siap. Aku tak tahu harus bagaimana. Erik memang tampan, tapi aku tak menyukainya. Hatiku hanya untuk Pagi dan aku sangat yakin akan hal itu.
To: +628001912XX
Erik, Silka Sabtu ini ada kerja kelompok. Maaf ya.
Aku menunggu beberapa saat sampai tanda terkirim muncul di layar ponselku.
Your message is sent.
***
“Hei, Sil. Lagi sibuk?”
“Eh, Rik,” tidak kupungkiri aku sangat kaget bertemu Erik di tempat ini. Aku mencoba tersenyum, “Lagi baca-baca aja.”
Setiap Senin pukul empat, perpustakaan kampus memang selalu kosong karena kebanyakan mahasiswanya telah pulang. Aku tengah menunggu Pagi yang sedang kelas. Kami sudah berjanji untuk bertemu di perpustakaan seperti biasa. Mengapa perpustakaan? Karena sepi, kataku pada Pagi saat ia bertanya. Tapi, selain karena sepi, perpustakaan adalah salah satu tempat yang jarang didatangi oleh Kairra. Ia lebih sering pergi ke toko buku di depan kampus jika ingin membaca. Inilah alasanku yang sebenarnya. Dengan begitu, aku bisa memeluk Pagi tanpa harus was-was ketahuan orang-orang, terutama Kairra.
Tetapi, kedatangan Erik membuyarkan semua pikiran itu. Aku harus mencari tempat baru lagi kalau seperti ini keadaannya. Aku jadi curiga, jangan-jangan Erik sudah sering melihatku pacaran dengan Pagi di sini. Tidak, tidak. Tidak boleh. Aku menggelengkan kepalaku.
Erik tersenyum, “Kenapa, Sil?”
“Eh? Nggak, Rik. Nggak apa-apa.”
“Besok kemana?” Tanya Erik, sambil tetap tersenyum.
Ya Tuhan... Tolong berikan Silka alasan lagi.
“Hmmm? Besok Silka kuliah sampe sore, Rik.”
“Sampe jam? Lima?”
“Iya.”
“Habis itu, kemana?”
“Ada kerja kelompok, Rik.”
“Oh, oke deh.”
Sepertinya Erik sudah mendapatkan kesan aku tidak ingin pergi dengannya. Ada sepercik kekecewaan di wajahnya.
“Maaf ya, Rik.”
“Iya. It’s okay, Silka. I get it.”
Aku terdiam. Erik juga terdiam.
“Sil?” Erik menoleh dan mengubah posisi duduknya ke arahku.
“Hmm?” Aku ikut menoleh ke arahnya tanpa mengubah posisi dudukku. Erik maju mendekat. Aku dan Erik bertatapan dengan jarak kurang dari satu jengkal memisahkan kami.
“Gue suka sama lo, Sil.” Katanya serius.
Aku tak menjawabnya.
EHM. Dari belakangku, kudengar ada yang berdeham keras.
“Silka?”
“Gi? Udah selesai kelasnya?”
“Jadi belajar bareng, nggak? Atau kamu sibuk?” Tanya Pagi sambil melirik Erik.
“Ayo. Aku nggak sibuk kok.”
Raut muka Erik tampak kesal bercampur kecewa.
“Gue duluan deh, Sil,” kata Erik, pamit.
“Iya, Rik.” Aku dan Pagi tidak berbicara sampai Erik keluar dari pintu perpustakaan.
Setelah Erik tak terlihat, Pagi mulai bertanya padaku.
“Dia bilang apaan?”
“Nggak bilang apa-apa.”
“Jangan bohong sama aku, Silka.”
Aku menunduk.
“Hmmm. Kamu malu pacaran sama aku ya, Sil?”
“Ya, nggak-lah, Gi!” Kuberanikan diri menatap kedua mata Pagi, meyakinkan dia kalau aku memang tidak malu berpacaran dengannya. Malah aku bangga. Hanya aku tidak berani mengakuinya pada Kairra dan orang banyak—karena orang-orang bisa saja ‘melaporkan’ aku pada Kairra.
“Serius?”
“Kenapa aku harus malu? Aku nggak malu. Aku sayang sama kamu.”
Pagi mengangkat alisnya.
“Ya udah. Dia bilang apa tadi?”
“Dia suka sama aku.”
“Oh. Terus kamu jawab apa?”
“Nggak aku jawab. Terus kamu dateng.”
“Nggak bilang kamu udah punya pacar? Nggak bilang aku pacar kamu?”
Aku kembali menunduk.
“Yaudah. Terserah kamu, Sil. Aku nggak mau maksa kamu.”
Pagi menghela nafas, lalu berdiri, “Ayo pulang.”
Biasanya kami menghabiskan waktu berdua sampai diusir oleh Pak Rahman, penjaga perpustakaan. Tapi, sepertinya hari ini Pagi tidak ada mood untuk berlama-lama berada di satu ruangan yang sama denganku.
Aku pun menurut dan mengikuti langkah Pagi dari belakang.
***
Keesokan harinya, Pagi sama sekali tidak menghubungiku. Sudah kucoba meneleponnya berkali-kali, tetapi tidak pernah ia angkat.
Hari ini Pagi tidak ada kelas. Kemana Pagi? Masihkah ia marah padaku? Saat jarum jam menunjukkan pukul lima, aku coba untuk menghubungi Pagi sekali lagi.
Operator.
Kumatikan panggilan tersebut dan lantas mulai berjalan pulang.
Aku harus meminta maaf pada Pagi. Aku harus menunggu di depan kelasnya besok, pikirku.
Aku berjalan sambil terus memikirkan apa yang harus kukatakan pada Pagi esok hari.
***
Satu hal yang tidak ada dalam rencanaku adalah bahwa sesampainya aku di rumah yang kutemui adalah sosok Pagi sedang berdiri di teras depan rumahku...
“Hai, Sayang.”
“Pagi?” Aku tak dapat menyembunyikan rasa kagetku.
Pagi tersenyum.
“Baru dateng?”
“Iya.”
“Hmmm. Mau teh?”
“Hmmm. Boleh deh, Sil. Makasih ya.”
“Ya udah. Tunggu ya.”
Pagi mengangguk sembari melepaskan sepatunya.
Aku pergi meninggalkan Pagi di teras depan menuju dapur untuk membuat teh. Gula dua sendok teh penuh untuk Pagi...
Aku kembali ke teras dengan membawa secangkir teh di atas nampan.
“Nih,” sahutku, menaruh secangkir teh itu di atas meja.
“Sil...”
“Ya?” Aku memeluk nampan, lalu duduk di kursi kosong sebelah Pagi.
“Kamu sampe kapan mau nyembunyiin kita dari Kairra? Kenapa juga harus disembunyiin, sih?”
Jantungku selalu berdegup kencang bila Pagi sudah mulai mengangkat topik tentang hal ini. Aku takut.
“Sampe aku siap, Gi.”
“Siap untuk apa? Siap ngapain? Emang kalo Kairra tau kenapa?”
Pagi tak boleh tahu kalau Kairra menyukainya. Tak boleh, pikirku. Seketika, aku merasa sangat berdosa. Seharusnya aku memberitahu Pagi perihal perasaan Kairra padanya sejak pertama kali Pagi memintaku jadi pacarnya. Namun, saat itu aku takut. Aku takut Pagi sebenarnya menyukai Kairra, seperti apa yang selama ini aku pikirkan. Aku takut jika Pagi tahu Kairra menyukainya, ia akan langsung meninggalkanku dan membuangku demi Kairra begitu saja. Aku menghela nafas. Ya, seharusnya aku rela jika itu terjadi. Toh, Kairra adalah sahabatku sendiri, yang aku yakin akan menjadi pasangan yang sesuai untuk Pagi dan dapat membahagiakannya. Seharusnya aku tidak boleh takut Pagi meninggalkanku untuk Kairra. Biarkanlah aku yang sakit hati, daripada kedua sahabatku itu.
Tetapi, nyatanya aku tidak memiliki keberanian dan hati sebesar itu. Aku ciut, egois, dan takut. Aku tidak ingin Pagi menyukai Kairra. Aku tidak ingin Pagi tahu Kairra menyukainya. Aku ingin memiliki Pagi hanya untukku. Aku lebih dulu menyukai Pagi, walaupun Kairra-lah yang pertama mengungkapkan rasa sukanya kepadaku.
Mungkin, semua ini akan lebih mudah jika dulu aku berani jujur pada Kairra bahwa aku juga menyukai Pagi. Bahwa jauh sebelum ia menyatakan perasaannya untuk Pagi padaku, aku telah lebih dulu mengagumi sahabat kami itu. Aku telah lebih dulu memandanginya. Ini hanya masalah siapa yang pertama kali menyuarakan. Mungkin jika aku jujur pada Kairra sejak awal, tidak akan terlintas di pikiran Kairra untuk menyukai Pagi. Kalaupun ia menyukai Pagi, ia mungkin akan berpikir dua kali untuk menyatakannya, karena ia tahu aku menyukai Pagi. Seburuk-buruknya, kita bisa bersaing secara sehat. Ah...sesal tiada guna, Sil.
Lalu, sekarang aku harus menjawab apa? Haruskah aku mulai jujur? Pilihan pertama; jujur pada Pagi, dengan risiko Pagi juga sebenarnya menyukai Kairra, dan akan meninggalkan aku untuk bersama dengan Kairra. Mungkin Pagi tidak berani menyukai Kairra, karena merasa tidak mungkin menggapai Kairra yang populer. Maka dari itu, ia berpaling padaku, yang lebih mudah didapat. Pilihan kedua; jujur pada Kairra, dengan risiko kehilangan sahabat.
Terlalu banyak berpikir, Silka. Terlalu banyak pikiran negatif...
“Sil?”
Rupanya cukup lama aku tenggelam dalam pikiranku, sampai Pagi harus memanggilku.
“Jawab dong, Sayang. Biar aku juga tau harus gimana,” sorot mata Pagi terlihat sedih, seperti tak tahu harus bagaimana, “Aku bingung, Silka. Aku nggak ngerti kenapa kita harus sembunyi, bahkan dari Kairra.”
Kamu tidak boleh tahu alasannya, Gi...
“Kairra kan sahabat kita, Sil.”
Justru karena dia sahabat kita, Gi...
“Sil, jangan diem aja dong.”
Apa yang kamu harap aku katakan?
“Kamu nggak mau sama aku?”
“Bukan begitu, Pagi...”
“Aku juga nggak bisa, Sil, kalo begini terus. Udah dua bulan aku jalan sama kamu tapi aku nggak bisa bilang ke siapa-siapa karena kamu masih nggak mau ada yang tau. Waktu itu kamu bilang sampe waktunya tiba. Tapi, waktunya kapan, Sil? Aku nggak ngerti kenapa kita harus sembunyi. Tolong kasih aku alasan biar aku ngerti.” Tutur Pagi panjang lebar.
Aku ingin jujur pada Pagi. Sungguh, aku sangat ingin. Tapi, aku masih takut, dan ketakutanku akan kehilangan Pagi menutupi segala keinginanku untuk jujur. Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku seperti ini. Tapi, aku... Ah, entahlah...
Pagi menghela nafas, kemudian merangkulku, “Ya udah. Udah, udah. Nggak usah dipikirin. Maafin aku ya.”
Aku baru tersadar aku sedang sesengukan di pelukan Pagi. Pagi mencium keningku sekilas, “Jangan nangis ya, Sil. Ya udah kalo kamu masih belom bisa bilang alasannya sama aku.”
Aku masih tak menjawab Pagi. Bibirku seakan terkunci, lidahku kelu kaku. Pagi tetap memelukku sambil mengusap-usap rambutku dengan penuh sayang. Aku sangat beruntung memiliki Pagi sebagai kekasihku. Semakin takut aku mengungkapkan yang sebenarnya. Well, mungkin ini hanya dalam pikiranku saja, tapi bagaimana kalau pikiranku benar? Bagaimana kalau Pagi akan meninggalkanku? Aku tak sanggup membayangkannya. Aku hanya tahu aku tidak ingin pelukan hangat ini hilang dariku. Aku tidak ingin Pagi Wirakusuma meninggalkanku.
***
Kantin saat itu sedang ramai. Aku dan Kairra duduk di tempat kami biasa duduk dan sedang seru membicarakan konser Jason Mraz di Jakarta, yang akan diadakan kurang dari sebulan lagi, ketika Pagi datang menghampiri kami. Aku selalu menjadi kikuk setiap kali kami berkumpul bertiga. Dulu, ini adalah suatu kebiasaan, hal yang sangat normal. Tapi, sekarang aku lebih banyak diam, atau bahkan kadang kabur sejenak—entah ke toilet atau membeli snack—untuk menjernihkan pikiran dan menyembunyikan kepanikanku. Seperti saat ini, sebelum Pagi sampai di tempat kami, aku cepat-cepat berdiri dengan alasan ingin makan yang manis-manis, kemudian pergi ke toko es krim potong di sudut kantin.
Dari jauh, aku lihat Pagi duduk dengan santainya di kursi kosong di sebelah kursiku, membuatnya dapat dengan mudah melihatku. Mereka terlihat berbincang sejenak. Kairra membuka bukunya dan menyodorkannya pada Pagi, mungkin sedang bertanya soal pekerjaan rumah yang tadi sempat ia tanyakan juga padaku.
Ibu penjual es potong memberikan es potong rasa pisang yang telah kupesan, dan aku menggantinya dengan uang lima ribuan. Setelah bertukar kata terima kasih, aku kembali berjalan menuju tempat Kairra dan Pagi menunggu. Aku menarik nafas. Tenang, Silka, tenang. Nothing is wrong. Nothing.
Aku duduk di samping Pagi yang sedang mengajari Kairra tentang bab akuntansi yang baru. Tiba-tiba, Kairra menatap lurus ke belakangku.
“Sil, Erik, Sil.”
Pagi mendahuluiku menengok ke belakang.
“Kamu gimana jadinya sama dia?” Tanya Silka penasaran. Sepertinya ia tahu aku tidak merespon Erik dengan baik, tapi tak tahu alasannya.
“Nggak gimana-gimana, Kai.”
“Masih sering ditelepon? Masih sering datang ke rumah?“
Aku melirik Pagi, “Masih,” Pagi mengangkat alisnya tanpa melihatku, “Tapi nggak aku angkat. Datang ke rumah juga suka aku diemin.”
Aku yakin Pagi kaget mendengar bahwa Erik pernah datang ke rumahku. Bahkan, sebenarnya dapat dikatakan lumayan sering. Aku tak berani mengatakan itu kepada Pagi, takut ia marah.
“Lho kenapa?” Tanya Kairra.
“Nggak lah, Kai.”
“Nggak suka ya? Tapi kayaknya dia suka banget sama kamu tuh, diomongin terus kalo lagi sama aku. Dia tuh sebenernya udah suka sama kamu lama. Cuma baru kenalan yang waktu itu aku kenalin.”
“Aku nggak suka dia, Kai. Gimana ya supaya dia stop?”
Kairra mengangguk-angguk. “Oh, gitu. Hmmm. Dikejar-kejar terus ya?” Aku ganti mengangguk.
“Eh, eh. Tuh, dia mau ke sini kayaknya,” ujar Kairra.
Aku sepontan ingin menoleh ke belakang, “Jangan nengok, Sil.” Untung saja Kairra segera mengingatkanku sebelum aku telanjur menoleh, karena ternyata Erik sekarang telah sampai ke meja kami. Kulirik Pagi sekali lagi. Ia diam saja, fokus pada buku pelajaran milik Kairra.
“Hai, Kairra, boleh pinjem Silka-nya sebentar?”
Aku lirik Pagi untuk ketiga kalinya. Ia masih diam saja, bahkan tidak mencoba untuk melihat ke arah Erik.
“Iya, iya, silakan. Gue terserah Silka-nya aja, Rik.”
Aku menatap Kairra dengan penuh permohonan, membuat ia sadar telah mengucapkan sesuatu yang salah. Kairra membalas tatapanku dengan tatapan penuh maaf. Akhirnya aku pasrah dibawa Erik pergi, tanganku ditariknya, “Sebentar yuk, Sil.”
Tapi, begitu aku setengah berdiri, kurasakan tanganku yang lain sedang digenggam oleh Pagi, “Jangan. Silka-nya lagi mau belajar.”
“Sebentar aja kok,” tantang Erik. Nada suaranya sudah menunjukkan emosinya yang naik.
“Gue bilang jangan, ya jangan,” nada suara Pagi ikut naik.
“Hmmm. Iya, Rik. Kita sebenernya lagi belajar, kalo besok aja gimana?” Kairra berusaha menengahi. Erik terlihat sangat kesal dan melempar pergelangan tanganku yang sedari tadi ia genggam erat-erat sehingga tanganku membentur ujung meja.
“YANG SOPAN YA LO.” Volume suara Pagi meninggi dan menekankan kata ‘sopan’.
“Emang lo siapanya Silka, sih?” Erik terus membalas Pagi, melangkahkan kakinya lebih dekat ke arah Pagi.
Aku mulai kehabisan kesabaran. Pikiranku bercabang ke banyak hal; pertama, Erik di depanku yang mencari masalah. Kedua, Pagi yang pasti akan marah dengan kejadian ini. Ketiga, dan yang paling krusial, Kairra. Ia pasti melihat gelagat Pagi yang tidak seperti biasanya. Aku melihat dengan jelas ia kaget dan menaikkan alisnya saat Pagi menarik tanganku, wajahnya tampak meminta penjelasan.
“Rik, please, just stop this.” Setengah menangis, aku memohon pada Erik dengan sisa-sisa keberanianku, atau mungkin benih-benih rasa frustrasiku. Aku berdiri di antara Pagi dan Erik, mencegah mereka berdiri terlalu dekat untuk memulai adu jotos.
“Pacarnya. Kenapa?” Pagi masih dalam posisi duduk, tapi siap untuk berdiri dan menghantam Erik. Aku pura-pura tidak mendengar apa yang Pagi katakan. Aku tak melirik ke arah Kairra sama sekali. Aku tidak ingin melihat wajahnya sekarang.
Erik mulai mengepalkan tinjunya dan tatapannya seperti kesetanan. Karena panik, aku dorong dada Erik yang berada tepat di depanku, “ERIK.”
Erik menatapku tajam. Namun, lama-kelamaan tatapannya mulai melembut, bahkan sedih. Kepalannya terbuka, ia menghela nafas. “Fine. If that’s what you want, Silka,” Erik mundur satu langkah, terdiam beberapa saat.
“You know I like you a lot, right?”
Hanya satu kata yang terucap dari bibirku, “Maaf, Rik.”
Erik mengangguk. “It’s okay. Gue ngerti,” ia tak melihat mataku lagi, “Sorry about your hand.”
“Nggak apa-apa kok,” kataku, sambil menggerak-gerakkan pergelangan tanganku.
Erik tersenyum kecil, menghela nafas sekali lagi, kemudian memandang Pagi tajam.
“Lo cowoknya Silka? You treat her right, or I will make you suffer.” Erik mengancam Pagi untuk memperlakukanku sebaik mungkin, kemudian pergi tanpa menoleh ke belakang lagi. Pagi hanya diam. Aku tidak tahu apa yang sedang melintas di kepalanya.
Setelah kepergian Erik, dan lepasnya pandangan orang-orang sekitar setelah kejadian tadi, kami bertiga duduk dalam diam. Pagi mengetuk-ngetukan bolpoin di atas meja, Kairra memutar-mutar sedotan dalam gelas teh manisnya. Kairra kemudian mengangkat pandangannya ke arahku, pandangan ada-yang-harus-diceritakan-nih. Aku menendang kecil kaki Pagi.
“Bagus akting kamu, Gi. Makasih ya.”
“Hah?” Aku menendang sedikit lebih keras.
“Oh! Iya, iya. Sama-sama. Silka tadi nendang kaki gue gitu deh, Kai, minta pertolongan. Bayar lo, Sil, ada upahnya.” Pagi yang mendapat kode dariku langsung ikut bermain peran dan bercanda.
“Yah, gitu. Sahabat harus saling menolong tau.”
Pagi tertawa, tapi terdengar seperti dipaksa, “Iya, bercanda.”
Wajah Kairra terlihat bingung dan penuh pertanyaan.
Apa yang baru saja terjadi? Ada yang gue nggak tahu kah? Dari ekspresinya, aku seperti bisa membaca pikiran Kairra. Hatiku terasa seperti teriris melihatnya.
“Yuk, lanjut belajarnya,” ujar Pagi menutup keheningan.
***
“Sil.”
Sapaan Kairra yang terdengar datar begitu asing di telingaku. Biasanya, Kairra selalu menyapaku dengan penuh semangat dan keceriaan. Ia duduk di bagian kosong bangku taman yang sedang aku duduki.
“Iya, Kai?” Pikiran tentang hal yang terburuk segera masuk ke otakku. Jangan-jangan Kairra sudah tahu.
Aku tak dapat menebak yang ia pikirkan dari air mukanya. Kairra terlihat tegang dan seperti sedang menahan amarah. Aku berusaha untuk tenang dan mengabaikan pikiran-pikiran negatifku, tapi keringat dingin tetap membasahi kedua telapak tanganku dan jantungku terasa berdetak dua kali lebih cepat. Aku menyesali segala keputusanku tentang hubungan yang sembunyi-sembunyi ini. Bibirku sekarang gatal untuk mengatakan yang sebenarnya pada Kairra dan meminta maaf padanya. Aku telah merusak persahabatan kami bertiga, aku sepenuhnya sadar akan itu. Rasanya aku ingin pergi saja dari kehidupan Kairra dan Pagi. Aku merasa tak pantas.
Aku masih menunggu kata-kata keluar dari mulut Kairra, namun ia masih tetap terdiam. Aku sudah pasrah.
Dengan lemah, aku lontarkan lagi pertanyaanku, “Kai? Kamu kena...”
Tapi Kairra memotong kalimatku.
“Kamu mau jujur sesuatu sama aku nggak?” Kairra menatapku tajam, tanpa sedikitpun senyuman. Tatapannya seperti menusuk langsung ke dasar hatiku yang paling dalam. Ia menungguku untuk mengakuinya. Aku gemetar, karena aku tahu benar aku bersalah. Tak seharusnya aku bersembunyi dari Kairra. Tak seharusnya aku mematahkan hati sahabatku sendiri.
Hatiku bergejolak. Mungkin ini saatnya aku jujur. Aku harus siap menerima segala konsekuensi yang ada akibat kesalahanku sendiri.
“Aku pacaran sama Pagi, Kai. Udah lumayan lama. Aku sayang dia, Kai.” Aku terus menunduk, malu untuk bertemu mata dengan Kairra.
“Oh. Jadi bener ya?” Kairra menghembuskan nafasnya. Lalu, tanpa kusangka, ia tersenyum lemah. “Aku cuma mau denger dari mulut kamu sendiri aja sih, Sil. Aku udah tau lama kok.”
Aku seperti ingin meledak saja. Udah tau lama kok. Kata-kata Kairra terngiang di telingaku. Sejak kapan? Aku ingin menangis detik itu juga, tetapi air mataku seperti ada yang menahan. Aku terpaku mendengar tuturan Kairra, dan sekarang tetesan air matanya. Ingin aku memeluk sahabatku itu, tapi aku masih enggan. Aku merasa tidak berhak untuk menenangkannya.
“Bagaimanapun juga, Sil, kita sahabatan udah lama. Nggak mungkin kalian bisa bohongin aku terus. Kamu sadar itu nggak sih?” Kata Kairra disela-sela isakannya.
Aku masih menunduk, “Minta maaf aja aku nggak pantes, Kai. Aku nggak tau harus bilang apa ke kamu. Aku sadar aku salah. Aku salah banget.”
“Aku pernah liat kalian berdua di perpustakaan, kalian duduk di kafe depan kampus berdua, Erik yang suka nanya-nanya soal Pagi dan kamu. Puncaknya, kemarin saat Pagi narik tangan kamu, dan kamu masih bisa bohong sama aku.
“Aku marah, Sil, marah banget. Aku sakit hati banget saat aku sadar kalo kamu bohongin aku. Pertamanya, aku coba mikir positif. Mungkin kalian lagi belajar bareng, atau nggak sengaja ketemu. Tapi, sepintar-pintarnya bersembunyi, pasti akan ketahuan juga, kan?” Kairra tersenyum lagi.
Aku tak mampu berkata-kata. Air mataku sudah penuh di pelupuk mata. Isakan Kairra-lah yang akhirnya meruntuhkan benteng air mataku. Aku menangis terisak-isak bersama Kairra. Tidak peduli apa pikiran mereka yang sedang melintas. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi sekarang. Aku pasrah jika persahabatanku dengan Kairra dan hubunganku dengan Pagi hancur berantakan. Semua ini memang salahku sejak awal. Aku tidak akan meminta Kairra untuk memaafkanku.
Kairra mengelap air matanya, menoleh ke arahku dan menggenggam tanganku. “Kalian saling cinta, kan? Pagi nggak tahu aku suka sama dia, kan? Jangan kasih tau ya, Sil.
“Kalian yang bahagia ya. Silka, aku rela kalo kalian berdua bahagia. Aku sangat rela.”
“Aku minta maaf ya, Kai...” Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku. Aku tidak tahu mengapa aku mengucapkannya. Kata maaf tak pantas dan tak seberapa dibandingkan kesalahanku.
“Udah, Sil. Aku udah maafin kamu kok, sebelum kamu minta maaf. Pagi juga.” Kairra tersenyum, “Kamu tau kenapa aku maafin kamu?”
Aku menggeleng.
“Karena kalo aku ada di posisi kamu, aku juga akan melakukan hal yang sama,” katanya sambil tetap tersenyum.
Semakin deras air mataku bercucuran. Aku tidak tahu harus berpikir apa. “Ya udah. Sekarang janji aja ya. Pagi nggak perlu tau aku pernah suka sama dia.”
Aku mengangguk lagi.
“Sil... Tetap jadi sahabat aku ya. Aku lebih menghargai persahabatan kita dibandingkan apapun.”
Aku yakin wajah menangis jelekku sudah muncul sekarang. Di depan umum, aku hanya fokus pada kata-kata Kairra. Aku tidak habis pikir mengapa ia mengatakan kalimat barusan. Akulah yang seharusnya memohon Kairra untuk tetap menjadi sahabatku...
“Terima kasih udah mau jujur, Silka. Aku tau nggak gampang. Sekarang pesanku, kalian harus bahagia ya, kalo kalian saling mencintai, aku rela, Sil. Bener, aku rela.”
Aku tak sanggup lagi mendengarkan kata-kata Kairra. Kupeluk sahabatku itu dengan sangat erat, dan Kairra balas memelukku tidak kalah erat.
Mungkin inilah sahabat sejati. Tak semua orang seberuntung aku dapat memiliki sahabat sejati. Dengan lantang dan bangga dapat aku katakan, Kairra adalah sahabat sejatiku. Aku hanya bisa berjanji untuk selalu menjadi sahabatnya dan terus membuka pintu maaf bagi Kairra yang telah membukakan aku pintu maaf dengan tulus. Mungkin tidak akan pernah sepadan dengan apa yang sudah Kairra berikan kepadaku. Tapi, inilah yang akan aku lakukan. Kalau Kairra masih sudi menyebutku sahabatnya, yang terbaik yang bisa aku lakukan sekarang adalah menjadi sahabat terbaiknya mulai dari sekarang. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengecewakan Kairra untuk yang kedua kalinya. Pagi tak perlu tahu tentang semua ini. Biarlah aku dan Kairra saja yang tahu.
“Kamu udah suka Pagi dari sebelum aku bilang aku suka dia ya?”
Aku mengangguk.
“Bilang, dong, Sayang,” Kairra tersenyum, “Ya udah. Aku bahagia kok buat kalian.”
Aku mengusap sisa-sisa air mata dari pipiku, dan membalas senyum sahabatku.
Terima kasih atas Kairra, Tuhan, tuturku dalam hati. Sungguh-sungguh aku berterima kasih.
Sekarang, tak perlu aku bersembunyi lagi. Apa yang lebih baik dari seorang sahabat yang menerimamu apa adanya dan memaafkan kesalahanmu yang paling fatal? Tidak ada. Tidak ada yang lebih baik dari seorang sahabat yang benar seorang sahabat, dan sahabat yang benar sahabat itu kutemukan dalam diri Kairra.
Terima kasih, Kairra.
EPILOG
“Lovebirds!” Teriak Kairra dari seberang jalan, “Aku sama Kana duluan ya!” Arkana melambaikan tangannya ke arah kami, lalu mengikuti Kairra dari belakang.
Hari ini tepat setahun sudah sejak Pagi memintaku menjadi pacarnya. Kami sengaja merayakannya dengan double date. Kairra dan Arkana, pacar barunya, sedang mesra-mesranya. Mereka mengingatkan kami untuk tidak pernah melupakan rasa bahagia menjadi ‘pasangan baru’ setiap hari, khususnya setelah setahun menjalani hubungan ini. Salah satu hal yang aku dan Pagi selalu tanamkan dalam hubungan kami adalah jangan pernah biarkan cintamu pudar termakan waktu.
Aku dan Pagi masih terus bersama-sama mengusung prinsip itu. Setelah setahun ini, aku, Pagi dan Kairra—well, dan sekarang ditambah Arkana—terus mengeratkan tali persahabatan kami. Sama seperti cintaku dan Pagi, takkan kubiarkan persahabatan kami hilang. Aku bersyukur atas semua kejadian-kejadian di masa lalu yang telah membuat persahabatan kami menjadi lebih kuat. Dulu aku menangisi kesalahan dan keegoisanku, tapi sekarang waktunya aku tersenyum. Waktunya kami tersenyum.
Pagi tidak pernah tahu tentang kejadian di taman saat itu. Mungkin , suatu saat nanti aku akan menceritakannya. Namun, untuk sekarang, kurasa ini yang terbaik, untukku dan Pagi, juga untuk Kairra. Kairra sudah mempercayaiku untuk tidak memberitahu Pagi. Untuk sekali ini, aku akan memegang teguh kepercayaan itu apa pun risikonya
Lagipula, dengan hadirnya Arkana, Kairra sudah menjadi lebih gembira. Aku rasa Arkana dapat membawa keceriaan Kairra kembali seperti dulu lagi. Aku bisa bernafas lega sekarang. Kuharap kebahagiaan yang mutualis ini dapat terus kami pertahankan.
Aku melihat Kairra dan Arkana masuk ke dalam mobil, lalu memandang sahabatku yang berada di hadapanku kini.
“Aku sayang kamu.” Pagi tersenyum sangat manis.
“Aku juga.”
Sahabat? Ya, menyebut mereka sahabat.
Penulis
Ditania Melivia Adiputri